Minggu, 03 Februari 2013
Resiko Perusahaan Manufaktur
Setiap industri pasti memiliki
peluang menghadapi risiko, begitu juga dengan industri manufaktur. Risiko yang
melekat pada perusahaan dalam kelompok industri manufaktur tidak terlepas dari
karakteristik utama kegiatan perusahaan yaitu kegiatan memperoleh sumberdaya,
mengolah sumberdaya menjadi barang jadi serta menyimpan dan mendistribusikan
barang jadi. Oleh karena itu, risiko-risiko yang melekat pada industri
manufaktur adalah sebagai berikut:
1.
Risiko sulitnya memperoleh bahan baku, yang dapat disebabkan
oleh:
2.
kelangkaan bahan baku
3.
ketergantungan yang tinggi terhadap impor atau pemasok
tertentu
4.
Risiko berfluktuasinya nilai tukar rupiah. Berfluktuasinya
nilai tukar rupiah dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
·
Depresiasi rupiah berakibat buruk bagi perusahaan yang
penjualannya mengandalakan pasar lokal dan tergantung pada bahan baku impor.
Meningkatnya harga jual produk jadi ang melebihi daya beli masyarakat akan
berakibat menurunnya penjualan perusahaan. Pada sisi lain, depresiasi rupiah menguntungkan
perusahaan yang mengandalakan pasar ekspor dan tergantung pada bahan baku yang
pengadaanya dalam nilai tukar rupiah
·
Apresiasi rupiah pada sisi sebaliknya, berpengaruh negatif
terhadap perusahaan yang mengandalakan penjualan pada pasar ekspor.
5.
Risiko kapasitas produksi tidak terpakai (idle capacity) yang terjadi karena
kurangnya daya serap pasar terhadap produk, kompetisi, perubahan teknologi,
adanya restriksi pemerintah terhadap produksi barang tertentu
6.
risiko terjadinya pemogokan atau kerusuhan (riot) yang antara lain dapat terjadi
karena ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi yang diterima, kondisi
perekonomian atau kondisi politik yang tidak stabil
7.
Risiko kekakuan investasi yaitu adanya restriksi/pembatasan
pemerintah terhadap investasi pada bidang tertentu.
8.
Putusnya hak paten (patent
right) atas formula produksi bagi perusahaan yang produknya terkait erat
pada hak paten atas formula tertentu akan sangat mempengaruhi pendapatannya
9.
Risiko leverage (leverage
risk) yaitu risiko-risiko yang terkait pada kewajiban perusahaan karena
pendanaan yang berasal dari luar perusahaan (external financing)
10. Risiko
pemasaran meliputi, antara lain tak terjualnya barang jadi, kerusakan dann
kehilangan pada jalut distribusi dan pemasaran, habisnya daur hidup produk.
11. Risiko
penelitian dan pengembangan produk meliputi, antara lain biaya penelitian dan
pengembangan yang gaga menghasilkan produk baru.
12. Risiko
dampak usaha terhadap lingkungan yang tercermin dari peringkat analasis
mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diberikan oleh Bapedaldan unjuk rasa
ketidakpuasan penduduk di lingkkungan setempat
13. Risiko
tidak tertagihnya piutang (account
receivable risk) yaitu risiko yang muncul karena rendahnya kolektabilitas
piutang. Risiko ini terkati langsung pada industri manufaktur, karena sistem
penjualan pada industri manufaktur umumnya tidak dilakukan secara tunai.
Sejarah Singkat BEI ( Bursa Efek Indonesia)
Bursa Efek
Jakarta pertama kali dibuka pada tanggal 14 desember 1912, dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda, didirikan di Batavia, pusat pemerintahan kolonial
Belanda yang kita kenal sekarang dengan Jakarta. Bursa Efek Jakarta dulu
disebut Call-Efek. Sistem
perdagangannya seperti lelang, dimana tiap efek berturut-turut diserukan
pemimpin “Call”, kemudian para
pialang masing-masing mengajukan permintaan beli atau penawaran jual sampai
ditemukan kecocokan harga, maka transaksi terjadi. Pada saat itu terdiri dari
13 perantara pedagang efek (makelar).
Bursa saat
itu bersifat demand-following, karena
para investor dan para perantara
pedagang efek merasakan keperluan akan adanya suatu bursa efek di Jakarta.
Bursa lahir karena permintaan akan jasanya sudah mendesak. Orang-orang Belanda
yang bekerja di Indonesia saat itu sudah lebih dari tiga ratus tahun mengenal
akan investasi dalam efek, dan penghasilan serta hubungan mereka memungkinkan
mereka menanamkan uangnya dalam aneka rupa efek. Baik efek dari perusahaan yang
ada di Indonesia maupun efek dari luar negeri. Sekitar 30 sertifikat (sekarang
disebut depository receipt)
perusahaan Amerika, perusahaan Kanada, perusahaan Belanda, perusahaan Prancis
dan perusahaan Belgia.
Bursa Efek
Jakarta sempat tutup selam periode perang dunia pertama, kemudian di buka lagi
pada tahun 1925. Selain Bursa Efek Jakarta, pemerintah kolonial juga
mengoperasikan bursa parallel di Surabaya dan Semarang. Namun kegiatan bursa
ini di hentikan lagi ketika terjadi pendudukan tentara Jepang di Batavia.
Aktivitas
di bursa ini terhenti dari tahun 1940 sampai 1951 di sebabkan perang dunia II
yang kemudian disusul dengan perang kemerdekaan. Baru pada tahun 1952 di buka
kembali, dengan memperdagangkan saham dan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan
Belanda di nasionalisasikan pada tahun 1958. Meskipun pasar yang terdahulu
belum mati karena sampai tahun 1975 masih ditemukan kurs resmi bursa efek yang
dikelola Bank Indonesia.
Bursa Efek
Jakarta kembali dibuka pada tanggal 10 Agustus 1977 dan ditangani oleh Badan
Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM), institusi baru di bawah Departemen Keuangan.
Kegiatan perdagangan dan kapitalisasi pasar saham pun mulai meningkat seiring
dengan perkembangan pasar finansial dan sektor swasta yang puncak perkembangannya
pada tahun 1990. Pada tahun 1991, bursa saham diswastanisasi menjadi PT. Bursa
Efek Jakarta dan menjadi salah satu bursa saham yang dinamis di Asia.
Swastanisasi bursa saham ini menjadi PT. Bursa Efek Jakarta mengakibatkan
beralihnya fungsi BAPEPAM menjadi Badan Pengawas Pasar Modal.
Bursa efek
terdahulu bersifat demand-following,
namun setelah tahun 1977 bersifat supplay-leading,
artinya bursa dibuka saat pengertian mengenai bursa pada masyarakat sangat
minim sehingga pihak BAPEPAM harus berperan aktif langsung dalam memperkenalkan
bursa.
Pada tahun
1977 hingga 1978 masyarakat umum tidak atau belum merasakan kebutuhan akan
bursa efek. Perusahaan tidak antusias untuk menjual sahamnya kepada masyarakat.
Tidak satupun perusahaan yang memasyarakatkan sahamnya pada periode ini. Baru
pada tahun 1979 hingga 1984 dua puluh tiga perusahaan lain menyusul menawarkan
sahamnya di Bursa Efek Jakarta. Namun sampai tahun 1988 tidak satu pun
perusahaan baru menjual sahamnya melalui Bursa Efek Jakarta.
Untuk
lebih mengairahkan kegiatan di Bursa Efek Jakarta, maka pemerintah telah
melakukan berbagai paket deregulasi, antaralain seperti: paket Desember 1987,
paket Oktober 1988, paket Desember 1988, paket Januarti 1990, yang prinsipnya
merupakan langkah-langkah penyesuaian peraturan-peraturan yang bersifat
mendorong tumbuhnya pasar modal secara umum dan khususnya Bursa Efek Jakarta.
Setelah
dilakukan paket-paket deregulasi tersebut Bursa Efek Jakarta mengalami kemajuan
pesat. Harga saham bergerak naik cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang
bersiafat tenang. Perusahaan-perusahaan pun akhirnya melihat bursa sebagai
wahana yang menarik untuk mencari modal, sehingga dalam waktu relative singkat
sampai akhir tahun 1997 terdapat 283 emiten yang tercatat di Bursa Efek Jakarta.
Tahun 1955
adalah tahun Bursa Efek Jakarta memasuki babak baru, karena pada tanggal 22 Mei
1995 Bursa Efek Jakarta meluncurkan Jakarta
Automated Trading System (JATS). JATS merupakan suatu sistim perdagangan
manual. Sistim baru ini dapat memfasilitasi perdagangan saham dengan frekuensi
yang lebih besar dan lebih menjamin kegiatan pasar yang fair dan transparan di
banding sistim perdagangan manual.
Pada bulan
Juli 2000, Bursa Efek Jakarta merupakan perdagangan tanpa warkat (ckripess trading) dengan tujuan untuk
meningkatkan likuiditas pasar dan menghindari peristiwa saham hilang dan
pemalsuan saham, serta untuk mempercepat proses penyelesaian transaksi.
Tahun 2001
Bursa Efek Jakarta mulai menerapkan perdagangan jarak jauh (Remote Trading), sebagai upaya
meningkatkan akses pasar, efisiensi pasar, kecepatan dan frekuensi perdagangan.
Tahun 2007
menjadi titik penting dalam sejarah perkembangan Pasar Modal Indonesia. Dengan
persetujuan para pemegang saham kedua bursa, BES digabungkan ke dalam BEJ yang
kemudian menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan tujuan meningkatkan peran
pasar modal dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008, Pasar Modal
Indonesia terkena imbas krisis keuangan dunia menyebabkan tanggal 8-10 Oktober
2008 terjadi penghentian sementara perdagangan di Bursa Efek Indonesia.. IHSG,
yang sempat menyentuh titik tertinggi 2.830,26 pada tanggal 9 Januari 2008,
terperosok jatuh hingga 1.111,39 pada tanggal 28 Oktober 2008 sebelum ditutup
pada level 1.355,41 pada akhir tahun 2008. Kemerosotan tersebut dipulihkan
kembali dengan pertumbuhan 86,98% pada tahun 2009 dan 46,13% pada tahun 2010.
Pada
tanggal 2 Maret 2009 Bursa Efek Indonesia meluncurkan sistim perdagangan baru
yakni Jakarta Automated Trading System
Next Generation (JATS Next-G), yang merupakan pengganti sistim JATS yang
beroperasi sejak Mei 1995. sistem semacam JATS Next-G telah diterapkan di
beberapa bursa negara asing, seperti Singapura, Hong Kong, Swiss, Kolombia dan
Inggris. JATS Next-G memiliki empat mesin (engine), yakni: mesin utama, back up
mesin utama, disaster recovery centre (DRC), dan back up DRC. JATS Next-G
memiliki kapasitas hampir tiga kali lipat dari JATS generasi lama .
Demi
mendukung strategi dalam melaksanakan peran sebagai fasilitator dan regulator
pasar modal, BEI selalu mengembangkan diri dan siap berkompetisi dengan
bursa-bursa dunia lainnya, dengan memperhatikan tingkat risiko yang terkendali,
instrument perdagangan yang lengkap,
sistem yang andal dan tingkat likuiditas yang tinggi. Hal ini tercermin dengan
keberhasilan BEI untuk kedua kalinya mendapat penghargaan sebagai “The Best
Stock Exchange of the Year 2010 in Southeast Asia”
Uji Multikoliearitas
Multikolinearitas
merupakan fenomena adanya korelasi yang sempurna antara satu variable bebas
dengan variabel bebas lain. Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (independen) (Imam Ghozali, 2005). Model regresi
yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independennya,
ketika terjadi korelasi antar variabel independen yang sangat tinggi, maka
sulit untuk memisahkan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen.
Metode
untuk menguji adanya multikolinearitas dapat dilihat pada tolerance value atau variance inflammatory factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen
lainnya. Jadi, nilai tolerance yang
rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi, karena VIF=1/tolerance. Batas tolerance
value adalah 0,10 atau nilai VIF adalah 10. Jika VIF >10 dan nilai Tolerance <0.10, maka tejadi
multikolinearitas tinggi antar variabel bebas dengan variable bebas lainnya.
Jika VIF < 10 dan nilai tolerance > 0.10, maka dapat diartikan tidak
terdapat multikolinearitas pada penelitian tersebut. Cara yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi jika terjadi multikolinearitas adalah dengan mengeluarkan
salah satu variabel bebas yang memiliki korelasi yang tinggi dari model regresi
dan identifikasi variabel lainnya untuk membantu prediksi.
Uji Heteroskedasitas
uji heteroskedastistas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan antara varian dari residual suatu
pengamatan ke pengamatan lain. Jika varian dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika varian
berbeda disebut heteroskedastistas( ghozali, 2005).
pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan melihat grafik Plot antara nilai prediksi
variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya, SRESID. Mengetahui
ada/tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada/tidaknya
pola tertentu pada grafik scatter plot
antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah residual (Y prediksi – Y
sesungguhnya) yang telah di-studentized, dengan ketentuan:
•
Jika terdapat pola tertentu pada scatter plot, seperti
titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur maka menunjukkan
telah terjadi adanya heteroskedastistas.
•
Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar
di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka
tidak terjadi heteroskedastistas.
Langganan:
Postingan (Atom)